Oleh Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i
A. PENGERTIAN AQIQAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26, mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”
Imam Ahmad rahimahullah dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
B. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِيّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَعَ اْلغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ فَاَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا وَ اَمِيْطُوْا عَنْهُ اْلاَذَى
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ يُحْلَقُ وَ يُسَمَّى
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ اْلغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَ عَنِ اْلجَارِيَةِ شَاةٌ
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits riwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
C. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH
HUKUM AQIQAH SUNNAH
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”
BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN MEMBID’AHKAN AQIQAH
Ibnul Mundzir rahimahullah membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].
WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :
“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]
BERSEDEKAH DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.
TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA DIRINYA SENDIRI
Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]
Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.
AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.”
Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya “Raudhatun Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing.”
Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya.”
BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING
Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….”
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.
D AQIQAH DENGAN KAMBING TIDAK SAH AQIQAH KECUALI DENGAN KAMBING
Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing.
Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan : “Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak sah aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing”.
Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena :
1. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya.
2. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha’if.
PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING KURBAN [IDUL ADHA]
Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat.
Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata : “Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.”
Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil.”
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat.”
BACAAN KETIKA MENYEMBELIH KAMBINGفَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah…” [Al-Maidah/5 : 4]وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.” [Al-An’am/6 : 121]
Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan : “Bismillahi wa Allahu Akbar”.
MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI MERUPAKAN PERBUATAN BID’AH DAN JAHILIYAH
“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]
Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388) berkata : “Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”
Al-‘Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214) menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..”
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.
BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH] SEBAGAIMANA SEMBELIHAN LAINNYA
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah:
1. Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)]
2. Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim (4/283]
Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].
DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52, berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49, berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hukum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta’ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]
Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Allah Ta’ala tidak pernah lupa.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA DAGING SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK
Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah : “Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ? Beliau menjawab : “Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam “Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal]
Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar ! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad .”
ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH
Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh.
Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid’ah, pent.
Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Shalih rahimahumullah. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, pent !!
Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.
Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya Khalaf.
Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan.
[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press, Yogjakarta, 1997]
Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/856-ahkamul-aqiqah.html
Kalau anak laki-laki lahir, kambing aqiqahnya berapa? Jantan atau betina? Dan kalau tidak mampu bagaimana? Apakah bisa ditunda dulu? Apa harus pada hari ke-7? Mohon penjelasan.
Ismail, Kolaka, Sultra, 081524203xxxx
Jawaban.
Persoalan yang disampaikan oleh dua penanya ini, kami gabungkan jawabannya, sebagai berikut :
Aqiqah disyariatkan dalam Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Hushain. Namun para ulama berselisih tentang hukumnya. Sebagian ada yang mewajibkan dan mayoritas mereka mensunnahkannya.
Imam Ahmad berkata: Al aqiqah merupakan Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan aqiqah untuk Al Hasan dan Al Hushain. Para sahabat Beliau juga melakukannya. Dan dari Samurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ
“Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya” [HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa-i].
Sehingga tidak patut, jika seorang bapak tidak melakukan aqiqah untuk anaknya. [1]
Aqiqah disyariatkan pada orang tua sebagai wujud syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap keselamatan dan barakah pada anak yang lahir tersebut [2]. Waktu pelaksanaanya, disunnahkan pada hari ketujuh. Jika tidak dapat, maka pada hari keempat belas. Bila tidak, maka pada hari kedua puluh satu. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْاَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Semua anak yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh”. [HR Ibnu Majah, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 2563].[3]
العَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ أَوْ لأَرْبَعَ عَشَرَةَ أَوْ لإِحْدَ وَ عِشْرِيْنَ
“Aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau empat belas atau dua puluh satu”. [HR Al Baihaqi, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, 4132].
Ada sebagian ulama, di antaranya Syaikh Shalih Fauzan yang berpendapat bolehnya melakukan aqiqah selain waktu di atas tanpa batas. Namun, mereka sepakat, bahwa yang utama pada hari ke tujuh. Sehingga, berdasarkan pendapat ini, maka orang tua yang belum mampu pada waktu-waktu tersebut dapat menundanya manakala sudah mampu.
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: Para ulama menyatakan, jika tidak memungkinkan pada hari ketujuh, maka pada hari keempat belas. Jika tidak mungkin juga, maka pada hari kedua puluh satu. Dan bila tidak mungkin juga, maka kapan saja. inilah aqiqah. [4]
Sedangkan yang berkaitan dengan ketentuan jumlah kambingnya, untuk bayi laki-laki dua kambing dan bayi wanita satu kambing. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka aqiqah untuk anak laki-laki dua kambing, dan anak perempuan satu kambing”. [HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Ketentuan kambingnya disini tidak dijelaskan jenisnya, harus jantan atau boleh juga betina. Namun para ulama menyatakan, bahwa kambing aqiqah sama dengan kambing kurban dalam usia, jenis dan bebas dari aib dan cacat. Akan tetapi mereka tidak merinci tentang disyaratkan jantan atau betina. Oleh karena itu, kata syah (شَاةٌ ) dalam hadits di atas, menurut bahasa Arab dan istilah syari’at mencakup kambing atau domba, baik jantan maupun betina. Tidak ada satu hadits atau atsar yang mensyaratkan jantan dalam hewan kurban. Pengertian syah (شَاةٌ) dikembalikan kepada pengertian syariat dan bahasa Arab.[5]
Dengan demikian, maka sah bila seseorang menyembelih kambing betina dalam kurban dan aqiqah, walaupun yang utama dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kambing jantan yang bertanduk. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Perkataan Imam Ahmad ini kami nukil dari Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan (3/194).
[2]. Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Al Fauzan (3/194).
[3]. Al Wajiz Fi Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul ‘Azhim Badawi, hlm. 405.
[4]. Al Muntaqa Min Fatawa (3/193).
[5]. Tentang hal ini, lihat keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarah Nadzmu Waraqat, hlm. 89-90